Selamat datang di situs doni bae

Jumat, 24 September 2010

seorang pemuda yang mulai belajar untuk membuat blog.

KISAH ORANG SUKSES

Kisah Elang Gumilang

Sumber : http://irawansuryakusuma.wordpress.com/2008/07/07/kisah-elang-gumilang/

Ditulis dalam Biografi Wong Guede oleh irawansuryakusuma pada Juli 7, 2008
(dikutip dari milis maestro muda indonesia)
Sosok mahasiswa IPB berusia 22 tahun ini memang fenomenal. Ia baru saja
meraih penghargaan Wirausaha Muda Mandiri karena prestasinya membangun
perumahan murah untuk rakyat miskin di Bogor.
Kemarin, Pak Didin menawari untuk menghadirkannya di TDA Forum. Pak Didin
punya kontaknya. Tentu, saya pribadi senang sekali. Saya ingin belajar dari
anak muda ini.
Saya pernah bertemu dengannya waktu sama-sama mengisi talkshow bareng di
Kampus Jayabaya beberapa waktu lalu. Kami tidak sempat ngobrol.
Sebelum menghadirkannya, ada baiknya kita baca dulu kisah Elang Gumilang
ini:
Jumat sore (28/12), suasana Institut Pertanian bogor (IPB), terlihat
lengang. Tidak ada geliat aktivitas proses belajar mengajar. Maklum hari
itu, hari tenang mahasiswa untuk ujian akhir semester (UAS). Saat Realita
melangkahkah kaki ke gedung Rektorat, terlihat sosok pemuda berperawakan
kecil dari kejauhan langsung menyambut kedatangan Realita. Dialah Elang
Gumilang (22), seorang wirausaha muda yang peduli dengan kaum miskin. Sambil
duduk di samping gedung Rektorat, pemuda yang kerap disapa Elang ini,
langsung mengajak Realita ke perumahannya yang tak jauh dari kampus IPB.
Untuk sampai ke perumahan tersebut hanya membutuhkan waktu 15 menit dengan
menggunakan kendaraan roda empat. Kami berhenti saat melewati deretan rumah
bercat kuning tipe 22/60. Rupanya bangunan yang berdiri di atas lahan 60
meter persegi itu adalah perumahan yang didirikannya yang diperuntukan
khusus bagi orang-orang miskin. Setelah puas mengitari perumahan, Elang
mengajak Realita untuk melanjutkan obrolan di kantornya.
Elang sendiri merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan H. Enceh
(55) dan Hj. Prianti (45). Elang terlahir dari keluarga yang lumayan berada,
yaitu ayahnya berprofesi sebagai kontraktor, sedangkan ibunya hanya ibu
rumah tangga biasa. Sejak kecil orang tuanya sudah mengajarkan bahwa segala
sesuatu diperoleh tidak dengan gratis. Orang tuanya juga meyakinkan bahwa
rezeki itu bukan berasal dari mereka tapi dari Allah SWT..
Ketika duduk di bangku Sekolah Dasar Pengadilan 4, Bogor, Elang sudah
mengikuti berbagai perlombaan dan bahkan ia pernah mengalahkan anak SMP saat
lomba cerdas cermat. Karena kepintarannya itu, Elang pun menjadi anak
kesayangan guru-gurunya.
Begitu pula ketika masuk SMP I Bogor, SMP terfavorit di kabupaten Bogor,
Elang selalu mendapatkan rangking. Pria kelahiran Bogor, 6 April 1985 ini
mengaku kesuksesan yang ia raih saat ini bukanlah sesuatu yang instan.
“Butuh proses dan kesabaran untuk mendapatkan semua ini, tidak ada sesuatu
yang bisa dicapai secara instan,” tegasnya. Jiwa wirausaha Elang sendiri
mulai terasah saat ia duduk di bangku kelas 3 SMA I Bogor, Jawa Barat. Dalam
hati, Elang bertekad setelah lulus SMA nanti ia harus bisa membiayai
kuliahnya sendiri tanpa menggantungkan biaya kuliah dari orang tuanya. Ia
pun mempunyai target setelah lulus SMA harus mendapatkan uang Rp 10 juta
untuk modal kuliahnya kelak.
Berjualan Donat. Akhirnya, tanpa sepengetahuan orang tuanya, Elang mulai
berbisnis kecil-kecilan dengan cara berjualan donat keliling. Setiap hari ia
mengambil 10 boks donat masing-masing berisi 12 buah dari pabrik donat untuk
kemudian dijajakan ke Sekolah Dasar di Bogor. Ternyata lumayan juga. Dari
hasil jualannya ini, setiap hari Elang bisa meraup keuntungan Rp 50 ribu.
Setelah berjalan beberapa bulan, rupanya kegiatan sembunyi-sembunyiny a ini
tercium juga oleh orang tuanya. “Karena sudah dekat UAN (Ujian Akhir
Nasional), orang tua menyuruh saya untuk berhenti berjualan donat. Mereka
khawatir kalau kegiatan saya ini mengganggu ujian akhir,” jelas pria
pemenang lomba bahasa sunda tahun 2000 se-kabupaten Bogor ini.
Dilarang berjualan donat, Elang justru tertantang untuk mencari uang dengan
cara lain yang tidak mengganggu sekolahnya. Pada tahun 2003 ketika Fakultas
Ekonomi dan Manajemen IPB mengadakan lomba Java Economic Competion se-Jawa,
Elang mengikutinya dan berhasil menjuarainya. Begitu pula saat Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia (UI) menyelenggarakan kompetisi Ekonomi, Elang
juga berhasil menjadi juara ke-tiga. Hadiah uang yang diperoleh dari setiap
perlombaan, ia kumpulkan untuk kemudian digunakan sebagai modal kuliah.
Setelah lulus SMU, Elang melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi IPB
(Institut Pertanian Bogor). Elang sendiri masuk IPB tanpa melalui tes SPMB
(Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru, red) sebagaimana calon mahasiswa yang
akan masuk ke Perguruan Tinggi Negeri. Ini dikarenakan Elang pernah
menjuarai kompetisi ekonomi yang diadakan oleh IPB sehingga bisa masuk tanpa
tes. Saat awal-awal masuk kuliah, Elang mendapat musibah yang menyebabkan
uang Rp 10 jutanya tinggal Rp 1 juta. Namun Elang enggan memberitahu apa
musibah yang dialaminya tersebut.
Padahal uang itu rencananya akan digunakan sebagai modal usaha. Meski hanya
bermodal Rp 1 juta, Elang tidak patah semangat untuk memulai usaha. Uang Rp
1 juta itu ia belanjakan sepatu lalu ia jual di Asrama Mahasiswa IPB. Lewat
usaha ini, dalam satu bulan Elang bisa mengantongi uang Rp 3 jutaan. Tapi
setelah berjalan beberapa tahun, orang yang menyuplai sepatunya entah kenapa
mulai menguranginya dengan cara menurunkan kualitas sepatunya. Satu per satu
pelanggannya pun tidak mau lagi membeli sepatu Elang. Sejak itu, Elang
memutuskan untuk tidak lagi berjualan sepatu.
Setelah tidak lagi berbisnis sepatu, Elang kebingungan mencari bisnis
apalagi. Pada awalnya, dengan sisa modal uang bisnis sepatu, rencanaya ia
akan gunakan untuk bisnis ayam potong. Tapi, ketika akan terjun ke bisnis
ayam potong, Elang justru melihat peluang bisnis pengadaan lampu di
kampusnya. “Peluang bisnis lampu ini berawal ketika saya melihat banyak
lampu di IPB yang redup. Saya fikir ini adalah peluang bisnis yang
menggiurkan,
” paparnya. Karena tidak punya modal banyak, Elang menggunakan
strategi Ario Winarsis, yaitu bisnis tanpa menggunakan modal. Ario Winarsis
sendiri awalnya adalah seorang pemuda miskin dari Amerika Latin, Ario
Winarsis mengetahui ada seorang pengusaha tembakau yang kaya raya di
Amerika. Setiap hari, ketika pengusaha itu keluar rumah, Ario Winarsis
selalu melambaikan tangan ke pengusaha itu. Pada awalnya pengusaha itu tidak
memperdulikannya. Tapi karena Ario selalu melambaikan tangan setiap hari,
pengusaha tembakau itu menemuinya dan mengatakan, “Hai pemuda, kenapa kamu
selalu melambaikan tangan setiap saya ke luar rumah?” Pemuda miskin itu lalu
menjawab, “Saya punya tembakau kualitas bagus. Bapak tidak usah membayar
dulu, yang penting saya dapat PO dulu dari Bapak.” Setelah mendengar jawaban
dari pemuda itu, pengusaha kaya itu lalu membuatkan tanda tangan dan stempel
kepada pemuda tersebut. Dengan modal stempel dan tanda tangan dari pengusaha
Amerika itu, pemuda tersebut pulang dan mengumpulkan hasil tembakau di
kampungnya untuk di jual ke Amerika lewat si pengusaha kaya raya itu. Maka,
jadilah pemuda itu orang kaya raya tanpa modal.
Begitupula Elang, dengan modal surat dari kampus, ia melobi ke perusahaan
lampu Philips pusat untuk menyetok lampu di kampusnya. “Alhamdulillah
proposal saya gol, dan setiap penjualan saya mendapat keuntungan Rp 15
juta,” ucapnya bangga.
Tapi, karena bisnis lampu ini musiman dan perputaran uangnya lambat, Elang
mulai berfikir untuk mencari bisnis yang lain. Setelah melihat celah di
bisnis minyak goreng, Elang mulai menekuni jualan minyak goreng ke
warung-warung. Setiap pagi sebelum berangkat kuliah, ia harus membersihkan
puluhan jerigen, kemudian diisi minyak goreng curah, dan dikirim ke
warung-warung Pasar Anyar, serta Cimanggu, Bogor. Setelah selesai mengirim
minyak goreng, ia kembali ke kampus untuk kuliah. Sepulang kuliah, Elang
kembali mengambil jerigen-jerigen di warung untuk diisi kembali keesokan
harinya. Tapi, karena bisnis minyak ini 80 persen menggunakan otot, sehingga
mengganggu kuliahnya. Elang pun memutuskan untuk berhenti berjualan. “Saya
sering ketiduran di kelas karena kecapain,” kisahnya.
Elang mengaku selama ini ia berbisnis lebih banyak menggunakan otot dari
pada otak. Elang berkonsultasi ke beberapa para pengusaha dan dosennya untuk
minta wejangan. Dari hasil konsultasi, Elang mendapat pencerahan bahwa
berbisnis tidak harus selalu memakai otot, dan banyak peluang-peluang bisnis
yang tidak menggunakan otot.
Setelah mendapat berbagai masukan, Elang mulai merintis bisnis Lembaga
Bahasa Inggris di kampusnya. “Bisnis bahasa Inggris ini sangat prospektif
apalagi di kampus, karena ke depan dunia semakin global dan mau tidak mau
kita dituntut untuk bisa bahasa Inggris,” jelasnya. Adapun modalnya, ia
patungan bersama kawan-kawannya. Sebenarnya ia bisa membiayai usaha itu
sendiri, tapi karena pegalaman saat jualan minyak, ia memutuskan untuk
mengajak teman-temannya. Karena lembaga kursusnyanya ditangani secara
profesional dengan tenaga pengajar dari lulusan luar negeri, pihak Fakultas
Ekonomi mempercayakan lembaganya itu menjadi mitra.
Karena dalam bisnis lembaga bahasa Inggris Elang tidak terlibat langsung dan
hanya mengawasi saja, ia manfaatkan waktu luangnya untuk bekerja sebagai
marketing perumahan. “Saya di marketing tidak mendapat gaji bulanan, saya
hanya mendapatkan komisi setiap mendapat konsumen,” ujarnya.
Bangun Rumah Orang Miskin. Di usianya yang relatif muda, pemuda yang tak
suka merokok ini sudah menuai berbagai keberhasilan. Dari hasil usahanya itu
Elang sudah mempunyai rumah dan mobil sendiri. Namun di balik
keberhasilannya itu, Elang merasa ada sesuatu yang kurang. Sejak saat itu ia
mulai merenungi kondisinya. “Kenapa kondisi saya begini, padahal saya di IPB
hanya tinggal satu setengah tahun lagi. Semuanya saya sudah punya, apalagi
yang saya cari di dunia ini?” batinnya.
Setelah lama merenungi ketidaktenangannya itu, akhirnya Elang mendapatkan
jawaban. Ternyata selama ini ia kurang bersyukur kepada Tuhan. Sejak saat
itulah Elang mulai mensyukuri segala kenikmatan dan kemudahan yang diberikan
oleh Tuhan. Karena bingung mau bisnis apalagi, akhirnya Elang shalat
istikharah minta ditunjukkan jalan. “Setelah shalat istikharah, dalam tidur
saya bermimpi melihat sebuah bangunan yang sangat megah dan indah di
Manhattan City, lalu saya bertanya kepada orang, siapa sih yang membuat
bangunan megah ini? Lalu orang itu menjawab, “Bukannya kamu yang membuat?”
Setelah itu Elang terbangun dan merenungi maksud mimpi tersebut. “Saya pun
kemudian memberanikan diri untuk masuk ke dunia properti,” ujarnya.
Pengalaman bekerja di marketing perumahan membuatnya mempunyai pengetahuan
di dunia properti. Sejak mimpi itu ia mulai mencoba-coba ikut berbagai
tender. Tender pertama yang ia menangi Rp 162 juta di Jakarta yaitu
membangun sebuah Sekolah Dasar di daerah Jakarta Barat. Sukses menangani
sekolah membuat Elang percaya diri untuk mengikuti tender-tender yang lebih
besar. Sudah berbagai proyek perumahan ia bangun.
Selama ini bisnis properti kebanyakan ditujukan hanya untuk orang-orang kaya
atau berduit saja. Sedangkan perumahan yang sederhana dan murah yang
terjangkau untuk orang miskin jarang sekali pengembang yang peduli. Padahal
di Indonesia ada 70 juta rakyat yang masih belum memiliki rumah. Apalagi
rumah juga merupakan kebutuhan yang sangat primer. Sebagai tempat berteduh
dan membangun keluarga. “Banyak orang di Indonesia terutama yang tinggal di
kota belum punya rumah, padahal mereka sudah berumur 60 tahun, biasanya
kendala mereka karena DP yang kemahalan, cicilan kemahalan, jadi sampai
sekarang mereka belum berani untuk memiliki rumah,” jelasnya.
Dalam hidupnya, Elang ingin memiliki keseimbangan dalam hidup. Bagi Elang,
kalau mau kenal orang maka kenalilah 10 orang terkaya di Indonesia dan juga
kenal 10 orang termiskin di Indonesia. Dengan kenal 10 orang termiskin dan
terkaya, akan mempunyai keseimbangan dalam hidup, dan pasti akan melakukan
sesuatu untuk mereka. Melihat realitas sosial seperti itu, Elang terdorong
untuk mendirikan perumahan khusus untuk orang-orang ekonomi ke bawah. Maka
ketika ada peluang mengakuisisi satu tanah di desa Cinangka kecamatan
Ciampea, Elang langsung mengambil peluang itu. Tapi, karena Elang tidak
punya banyak modal, ia mengajak teman-temannya yang berjumlah 5 orang untuk
patungan. Dengan modal patungan Rp 340 juta, pada tahun 2007 Elang mulai
membangun rumah sehat sederhana (RSS) yang difokuskan untuk si miskin
berpenghasilan rendah. Dari penjualan rumah yang sedikit demi sedikit itu.
Modalnya Elang putar kembali untuk membebaskan lahan di sekitarnya. Rumah
bercat kuning pun satu demi satu mulai berdiri.
Elang membangun rumah dengan berbagai tipe, ada tipe 22/60 dan juga tipe
36/72. Rumah-rumah yang berdiri di atas lahan 60 meter persegi tersebut
ditawarkan hanya seharga Rp 25 juta dan Rp 37 juta per unitnya. “Jadi, hanya
dengan DP Rp 1,25 juta dan cicilan Rp 90.000 ribu per bulan selama 15 tahun,
mereka sudah bisa memiliki rumah,” ungkapnya.
Karena modalnya pas-pasan, untuk media promosinya sendiri, Elang hanya
mengiklankan di koran lokal. Karena harganya yang relatif murah, pada tahap
awal pembangunan langsung terjual habis. Meski harganya murah, tapi
fasilitas pendukung di dalamnya sangat komplit, seperti Klinik 24 jam,
angkot 24 jam, rumah ibadah, sekolah, lapangan olah raga, dan juga dekat
dengan pasar. Karena rumah itu diperuntukkan bagi kalangan ekonomi bawah,
kebanyakan para profesi konsumennya adalah buruh pabrik, staf tata usaha
(TU) IPB, bahkan ada juga para pemulung.
Sisihkan 10 Persen. Dengan berbagai kesuksesan di usia muda itu, Elang tidak
lupa diri dengan hidup bermewah-mewahan, justru Elang semakin mendekatkan
diri kepada Tuhan. Salah satu wujud rasa syukur atas nikmatnya itu, dalam
setiap proyeknya, ia selalu menyisihkan 10 persen untuk kegiatan amal. “Uang
yang 10 persen itu saya masukkan ke BMT (Baitul Mal Wa Tanwil/tabungan)
pribadi, dan saya alokasikan untuk membantu orang-orang miskin dan orang
yang kurang modal,” bebernya. Bagi Elang, materi yang saat ini ia miliki ada
hak orang miskin di dalamnya yang musti dibagi. Selain menyisihkan 10 persen
dari hasil proyeknya, Elang juga memberikan sedekah mingguan, bulanan, dan
bahkan tahunan kepada fakir miskin.
Bagi Elang, sedekah itu tidak perlu banyak tapi yang paling penting adalah
kontinuitas dari sedekah tersebut. Meski jumlahnya kecil, tapi jika
dilakukan secara rutin, itu lebih baik daripada banyak tapi tidak rutin.
Elang sendiri terbilang sebagai salah satu sosok pengusaha muda yang sukses
dalam merintis bisnis di tanah air. Prestasinya patut diapresiasi dan
dijadikan suri tauladan bagi anak-anak muda yang lain. Bagi Elang, semua
anak muda Indonesia bisa menjadi orang yang sukses, karena kelebihan manusia
dengan ciptaan mahkluk Tuhan yang lain adalah karena manusia diberi akal.
Dan, ketika manusia lahir ke dunia dan sudah bisa mulai berfikir, manusia
itu seharusnya sudah bisa mengarahkan hidupnya mau dibawa kemana. “Kita
hidup ibarat diberi diary kosong. Lalu, tergantung kitanya mau mengisi
catatan hidup ini. Mau hura-hurakah? Atau mau mengisi hidup ini dengan
sesuatu yang bermanfaat bagi yang lain,” ucapnya berfilosof. Ketika
seseorang sudah bisa menetapkan arah hidupnya mau dibawa kemana, tinggal
orang itu mencari kunci-kunci kesuksesannya, seperti ilmu dan lain
sebagainya.
Menjaga Masjid. Adapun kunci kesuksesan Elang sendiri berawal dari perubahan
gaya hidupnya saat kuliah semester lima. Pada siang hari, Elang bak singa
padang pasir. Selain kuliah, ia juga menjalankan bisnis mencari
peluang-peluang bisnis baru, negosiasi, melobi, dan sebagainya. Namun ketika
malam tiba, ia harus menjadi pelayan Tuhan, dengan menjadi penjaga Masjid.
“Setiap malam dari semester lima sampai sekarang saya tinggal di Masjid yang
berada dekat terminal Bogor. Dari mulai membersihkan Masjid, sampai
mengunci, dan membukakan pintu pagar untuk orang-orang yang akan shalat
Shubuh, semua saya lakukan,” ujarnya merendah.
Elang mengaku ketika menjadi penjaga Masjid ia mendapat kekuatan pemikiran
yang luar biasa. Bagi Elang, Masjid selain sebagai sarana ibadah, juga
tempat yang sangat mustajab untuk merenung dan memasang strategi. “Dalam
halaman masjid itu juga ada pohon pisang dan di sampingnya gundukan tanah.
Saya anggap itu adalah kuburan saya. Ketika saya punya masalah saya merenung
kembali dan kata Nabi, orang yang paling cerdas adalah orang yang mengingat
mati,” ujarnya.
Ikut Lomba Wirausaha Muda Mandiri Karena Tukang Koran “Ghaib”
Elang semakin dikenal khalayak luas ketika berhasil menjadi juara pertama di
ajang lomba wirausaha muda mandiri yang diadakan oleh sebuah bank belum lama
ini. Keikutsertaan Elang dalam lomba tersebut sebenarnya berkat informasi
dari koran yang ia dapatkan lewat tukang koran “ghaib”. Kenapa “ghaib”?,
sebab setelah memberi koran, tukang koran itu tidak pernah kembali lagi
padahal sebelumnya ia berjanji untuk kembali lagi.
Peristiwa aneh itu terjadi saat ia sedang mencuci mobil di depan rumahnya.
Tiba-tiba saja ada tukang koran yang menawarkan koran. Karena sudah
langganan koran, Elang pun menolak tawaran tukang koran itu dengan
mengatakan kalau ia sudah berlangganan koran. Tapi anehnya musti sudah
mengatakan demikian, si tukang koran itu tetap memaksa untuk membelinya,
karena elang tidak mau akhirnya si tukang koran itu memberikan dengan
cuma-cuma kepada elang dan berjanji akan kembali lagi keesokan harinya.
Karena diberi secara cuma-cuma, akhirnya Elang pun mau menerimanya.
Setelah selesai mencuci mobil, Elang langsung menyambar koran pemberian
tukang koran tadi. Setelah membaca beberapa lembar, Elang menemukan satu
pengumuman lomba wirausaha muda mandiri. Merasa sebagai anak muda, ia
tertantang untuk mengikuti lomba tersebut. Elang pun membawa misi bahwa
wirausaha bukan teori melainkan ilmu aplikatif. Saat lolos penjaringan dan
dikumpulkan di Hotel Nikko Jakarta, Elang bertemu dengan seorang Bapak yang
anaknya sedang sakit keras di pinggir jalan bundaran Hotel Indonesia. Elang
merasa ada dua dunia yang sangat kontras, di satu sisi ada orang tinggal di
hotel mewah dan makan di restoran, tapi di sisi lain ada orang yang tinggal
di jalanan. Akhirnya, pada malam penganugerahan, tim juri memutuskan
Elanglah yang menjadi juaranya. Padahal kalau diukur secara omset,
pendapatannya berbeda jauh dengan para pengusaha lainnya.
Dari Juara I Wirausaha itu, Elang membawa hadiah sebesar Rp 20 juta,
ditambah tawaran kuliah S2 di Universitas Indonesia. Melalui lomba itu,
terbukalah jalan cerah bagi Elang untuk menapaki dunia wirausaha yang lebih
luas.
Ingin Membawahi Perusahaan yang Mempekerjakan 100 Ribu Orang
Perjalanan Elang dalam merintis bisnis properti, tidak selamanya berjalan
mulus. Pada awal-awal merintis bisnis ini, ia banyak sekali mengalami
hambatan, terutama ketika akan meminjam modal dari Bank. Sebagai mahasiswa
biasa, tentunya perbankan merasa enggan untuk memberikan modal. Padahal,
prospek bisnis properti sangat jelas karena setiap orang pasti membutuhkan
rumah. “Beginilah jadi nasib orang muda, susah orang percaya. Apalagi
perbankan. Orang bank bilang lebih baik memberikan ke tukang gorengan
daripada ke mahasiswa,” ungkapnya.
Meski sering ditolak bank pada awal-awal usahanya, Elang tidak pernah patah
semangat untuk berbisnis. Baginya, kalau bank tidak mau memberi pinjaman,
masih banyak orang yang percaya dengan anak muda yang mau memberi pinjaman.
Terbukti dengan hasil jerih payahnya selama ini sehingga bisa berjalan.
Ada banyak impian yang ingin diraih Elang, di antaranya membentuk organisasi
Maestro Muda Indonesia dan membawahi perusahaan yang mempekerjakan karyawan
100 ribu orang. Motivasi terbesar Elang dalam meraih impian tersebut adalah
ingin menjadi tauladan bagi generasi muda, membantu masyarakat sekitar, dan
meraih kemuliaan dunia serta akhirat.

Wassalam,
Badroni Yuzirman
www.manetvision. com | www.roniyuzirman. com |
Tags: biograf




KISAH SUKSES PENGUSAHA BURGER

Sumber : http://cepiar.wordpress.com/2007/11/10/kisah-sukses-pengusaha-burger/

Nopember 10, 2007 · & Komentar

Lulusan STM bangunan ini mengawali bisnisnya hanya dengan dua gerobak. Kini, ia memiliki 10 pabrik dan 2.000 outlet Edam Burger yang tersebar di seluruh Indonesia. Segalanya tentu tak mudah diraih. Bahkan, ia pernah menjalani hidup yang keras di Jakarta.
KLIK - Detail (Di rumah mungil di kawasan Perumnas Klender, Jakarta Timur, belasan pegawai berkaus merah kuning terlihat sibuk. Roti, daging, sosis, hingga botol-botol saus kemasan bertuliskan Edam Burger disusun rapi dalam wadah-wadah plastik siap edar. Seorang lelaki bercelana pendek berhenti bekerja, lalu keluar menyambut NOVA.
Pembawaannya sederhana, tak ubahnya seperti pegawai lain. Sambil tersenyum hangat, ia pun memperkenalkan diri. “Aduh maaf, ya, saya tidak terbiasa rapi, hanya pakai oblong dan celana pendek,” tutur Made Ngurah Bagiana, sang pemilik Edam Burger. Beberapa saat kemudian, Made bercerita.)
Terus terang, saya suka malu dibilang pengusaha sukses yang punya banyak pabrik dan outlet. Bukan tidak mensyukuri, tapi saya hanya tak mau dicap sombong. Saya mengawali semua usaha ini dengan niat sederhana: bertahan hidup. Makanya, sampai sekarang saya ingin tetap menjadi orang yang sederhana. Sesederhana masa kecil saya di Singaraja, Bali.
Orang tua memberi saya nama Made Ngurah Bagiana. Saya lahir pada 12 April 1956 sebagai anak keenam dari 12 bersaudara. Sejak kecil, saya terbiasa ditempa bekerja keras. Malah kalau dipikir-pikir, sejak kecil pula saya sudah jadi pengusaha. Bayangkan, tiap pergi ke sekolah, tak pernah saya diberi uang jajan. Kalau mau punya uang, ya saya harus ke kebun dulu mencari daun pisang, saya potong-potong, lalu dijual ke pasar.
Menjelang hari raya, saya pun tak pernah mendapat jatah baju baru. Biasanya, beberapa bulan sebelumnya saya memelihara anak ayam. Kalau sudah cukup besar, saya jual. Uangnya untuk beli baju baru. Lalu, sekitar usia 10 tahun, saya harus bisa memasak sendiri. Jadi, kalau mau makan, Ibu cukup memberi segenggam beras dan lauk mentah untuk saya olah sendiri.
KLIK - Detail PENSIUN JADI PREMAN
Begitulah, hidup saya bergulir hingga menamatkan STM bangunan tahun 1975. Bosan di Bali, saya pun merantau ke Jakarta tanpa tujuan. Saya menumpang di kontrakan kakak saya di Utan Kayu. Untuk mengisi perut, saya sempat menjadi tukang cuci pakaian, kuli bangunan, dan kondektur bis PPD.

Kerasnya kehidupan Jakarta, tak urung menjebloskan saya pada kehidupan preman. Bermodal rambut gondrong dan tampang sangar, ada-ada saja ulah yang saya perbuat. Paling sering kalau naik bis kota tidak bayar, tapi minta uang kembalian. (Sambil berkisah, Made terbahak tiap mengingat pengalaman masa lalunya. Berulang kali ia menggeleng, lalu membenarkan letak kacamatanya).
Toh, akhirnya saya pensiun jadi preman. Gantinya, saya berjualan telur. Saya beli satu peti telur di pasar, lalu diecer ke pedagang-pedagang bubur. Ternyata, usaha saya mandeg. Saya pun beralih menjadi sopir omprengan. Bentuknya bukan seperti angkot ataupun mikrolet zaman sekarang, masih berupa pick-up yang belakangnya dikasih terpal. Saya menjalani rute Kampung Melayu - Pulogadung - Cililitan.
Tahun 1985, saya pulang ke kampung halaman. Pada 25 Desember tahun itu, saya menikah dengan perempuan sedaerah, Made Arsani Dewi. Oleh karena cinta kami bertaut di Jakarta, kami memutuskan kembali ke Ibu Kota untuk mengadu nasib. Kami membeli rumah mungil di daerah Pondok Kelapa. Waktu itu saya bisnis mobil omprengan. Awalnya berjalan lancar, tapi karena deflasi melanda tahun 1986-an, saya pun jatuh bangkrut. Kerugian makin membengkak. Saya harus menjual rumah dan mobil. Lalu, saya hidup mengontrak.
NYARIS TERSAMBAR PETIR
Titik cerah muncul di tahun 1990. Saya pindah ke Perumnas Klender. Tanpa sengaja, saya melihat orang berjualan burger. Saya pikir, tak ada salahnya mencoba. Saya nekad meminjam uang ke bank, tapi tak juga diluluskan. Akhirnya saya kesal dan malah meminjam Rp 1,5 juta ke teman untuk membeli dua buah gerobak dan kompor.

KLIK - Detail Bahan-bahan pembuatan burger, seperti roti, sayur, daging, saus, dan mentega, saya ecer di berbagai tempat. Dibantu seorang teman, saya menjual burger dengan cara berkeliling mengayuh gerobak. Burger dagangannya saya labeli Lovina, sesuai nama pantai di Bali yang sangat indah.
Banyak suka dan duka yang saya alami. Susahnya kalau hujan turun, saya tak bisa jalan. Roti tak laku, Akhirnya, ya, dimakan sendiri. Masih untung karena istri saya bekerja, setidaknya dapur kami masih bisa ngebul. Pernah juga gara-gara hujan, saya nyaris disambar petir. Ketika itu saya tengah memetik selada segar di kebun di Pulogadung. Tiba-tiba hujan turun diiringi petir besar. Saya jatuh telungkup hingga baju belepotan tanah. Rasanya miris sekali.
Di awal-awal saya jualan, tak jarang tak ada satu pun pembeli yang menghampiri, padahal seharian saya mengayuh gerobak. Mereka mungkin berpikir, burger itu pasti mahal. Padahal, sebenarnya tidak. Saya hanya mematok harga Rp 1.700 per buah. Baru setelah tahu murah, pembeli mulai ketagihan. Dalam sehari bisa laku lebih dari 20 buah.
Untuk mengembangkan usaha, saya mengajak ibu-ibu rumah tangga berjualan burger di depan rumah atau sekolah. Mereka ambil bahan dari saya dengan harga lebih murah. Sungguh luar biasa, upaya saya berhasil. Dalam dua tahun, gerobak burger saya beranak menjadi lebih dari 40 buah. Saya pun pensiun menjajakan burger berkeliling dan menyerahkan semua pada anak buah.
Tak berhenti sampai di situ, tahun 1996 saya mencoba membuat roti sendiri dan membuat inovasi cita rasa saus. Seminggu berkutat di dapur, hasilnya tak mengecewakan. Saya berhasil menciptakan resep roti dan saus burger bercita rasa lidah orang Indonesia. Rasanya jelas berbeda dengan burger yang dijual di berbagai restoran cepat saji.

1 komentar:

doni puskom group mengatakan...

ah yang bener lhoe!!!

Posting Komentar